Rabu, 21 Mei 2014

MENELUSURI MAKAM TEMBOK


Adakah di antara Anda yang pernah mendengar nama TPU Tembok? Tak banyak mungkin, tapi tak sedikit pula yang mengenal makam Islam tertua di Surabaya tersebut. Tapi sadarkah Anda apabila makam Tembok ini bisa dikatakan sebagai makamnya para seniman Surabaya? Jika di Perancis kita bisa berkunjung ke Pere Lachaise, tempat dimakamkannya para seniman, tokoh2 budaya Perancis dan dunia, maka Makam Islam Tembok ini tak jauh berbeda dengan kompleks pemakaman tersebut. Tak percaya?? Yuk kita telusuri siapa saja yang merebah di kompleks makam yang telah ada sejak 1920an ini. 
Yang pertama, kita akan berkunjung ke makam Gombloh. Siapa yang tak mengenal sang trubadur yang terlahir dengan nama lengkap Sudjarwoto Sumarsono ini? Lahir di Jombang, 14 Juli 1948–meninggal di Surabaya, 9 Januari 1988 pada umur 39 tahun) adalah seorang legenda musik pop Indonesia. Dilahirkan sebagai anak ke-4 dari enam bersaudara dalam keluarga Slamet dan Tatoekah. Slamet adalah seorang pedagang kecil yang hidup dari menjual ayam potong di pasar tradisional di kota mereka. Sebagai keluarga sederhana, Slamet sangat berharap agar anak-anaknya dapat bersekolah setinggi mungkin hingga memiliki kehidupan yang lebih baik. Gombloh menyelesaikan pendidikan sekolah di SMA Negeri 5 Surabaya dan sempat berkuliah di Arsitektur ITS, namun tidak diselesaikannya dan memilih menuruti nalurinya untuk bermusik. Penampilan yang nyeleneh dan lirik-lirik lagu yang sederhana membuat dia terus dikenang dalam setiap rekam jejaknya. Melalui lagu Kebyar-Kebyar dan Kugadaikan Cintaku, Gombloh mendapatkan atensi yang tinggi hingga sekarang. Sepanjang penciptaan lagu, Gombloh selalu bersikap apa adanya. Apa yang ia rasakan, apa yang ia alami, apa yang ia lihat, itulah sumber inspirasinya dalam berkarya. Pantaslah kiranya, ia dijuluki sebagai sang trubadur. Lagu-lagu karya Gombloh sempat diangkat dalam penelitian Martin Hatch seorang peneliti dari Cornell University dan ditulis sebagai karya ilmiah yang berjudul "Social Criticsm in the Songs of 1980’s Indonesian Pop Country Singers", yang dibawakan dalam seminar musik The Society of Ethnomusicology di Toronto, Kanada pada 2000.
Mengenang Gombloh, tak lengkap rasanya bila tak menyebut Vicky Vendy. Dua nama ini nyaris tak terpisah, hampir di semua album Vicky Vendy pasti ada lagu Gombloh (dan menjadi sahabat setia sampai akhir hayat, berpulang hampir bersamaan, hanya selang 2 bulanan) Bagi Vicky, Gombloh adalah senior, guru, dan teman. Saking 'sayangnya' sama Vicky, tak jarang dalam konser Vicky. Gombloh sampai rela menunggui di atas panggung, jadi backing vocal, dan main gitar. Mereka dibesarkan oleh label yang sama Nirwana Record, perusahaan rekaman terbesar di Jawa Timur. Album pertama Vicky adalah Duka Seorang Gadis yang antara lain ikut diarsiteki oleh Arthur Kaunang (ayahanda artis Tessa Kaunang), Toar Tangkau, dan tentu saja Gombloh. Musisi yang terlibat sejak album pertama sampai album terakhir Vicky di antaranya adalah Pardi Artin (Gitaris The Gembells) tidak saja di album Vicky, hampir di semua album Gombloh, Pardi terlibat memberi roh Rock atau Blues.  Setelah sukses album pertama tersebut, tahun 1982 Vicky merilis album kedua yang bertitle Untukmu Kekasih masih ciptaan Gombloh juga sukses di pasaran. Pada tahun 1984 ia merilis album Balada Tukang Boat, namun album ini tidak sesukses dua album terdahulu. Pada jamannya dia termasuk idola kaum muda (terutama cewek) dan sempat merilis album Life In Concert, yang menampilkan lagu-lagu hits Vicky sampai saat itu seperti Duka Seorang Gadis, Senyumlah Kekasih, Tangis Dalam Mimpi. Ada salah satu hits penyanyi jebolan Bina Vokalia (juga ciptaan Gombloh) yang sempat dijadikan jingle iklan Djarum Super, yang berjudul Gadis Baju Merah. Sampai 1988 nama Vicky masih cukup berjaya, meski ada cerita ironi di akhir karirnya. Saat Gombloh meninggal, Vicky membuat album bertajuk Selamat Jalan Gombloh, entah karena shock atau karena sebab lain, tak lama kemudian Vicky menyusul Gombloh pergi untuk selama-lamanya. Pergaulan musik Vicky cukup luas bahkan sempat membentuk band di Jakarta, namanya Jakarta Power Band. Konon Vicky sudah diskenario untuk dilibatkan dalam proyek album karya terbaik Chandra Darusman, yang memuculkan hits Kekagumanku. Oya, bagi anda yang sempat mengikuti acara Ceriwis-Trans TV di edisi yang lama, Anda tentu masih ingat dengan band pengiring yang bernama Fresh Band. Nah tiga personel di antaranya merupakan putra-putra dari mendiang.
Setelah “bertemu” dengan Vicky Vendy, langkah kaki pun kita teruskan menemui Cak Durasim. Yaa, siapa yang tak pernah mendengar nama satu ini. Apalagi kalau kita mampir ke daerah Gentengkali Surabaya, terdapat nama gedung kesenian Cak Durasim. Cak Durasim adalah seniman Ludruk kelahiran Jombang, dia adalah seniman ludruk sejati di jaman Soerabaja Tempo Doeloe. Dia yang memprakasai perkumpulan ludruk di Surabaya. Pada tahun 1937, mempopulerkan cerita-cerita legenda Soerabaja dalam bentuk drama. Cak Durasim adalah seniman ludruk sekaligus adalah pejuang, Pada tahun 1942 ketika tentara Jepang menguasai negeri ini melalui Ludruk sebagai media siar. Dia membangkitkan semangat juang arek-arek Suroboyo dan mengkritik pemerintah penjajah,  di dalam pementasan drama ludruknya. Selain menceritakan legenda Surabaya Cak Durasim juga mementaskan cerita perjuangan-perjuangan lokal masyarakat Jawa Timur. Selain itu gendhing Jula-Juli Surabaya isinya mengkritik pemerintah penjajah. Pada puncaknya waktu pentas di Keputran Kejambon Surabaya Cak Durasim melantunkan Kidungan yang sangat populer yang berbunyi :“Bekupon omahe doro, melok Nippon tambah soro” - Bekupon Sangkar burung dara, ikut Nippon (Jepang) bertambah sengsara”. Kidungan ini yang menyebabkan Cak Durasim dipenjarakan dan disiksa oleh tentara Jepang. Pada tahun 1944 Cak Durasim menghembuskan nafas terakhir di dalam penjara dan dimakamkan di Makam Islam Tembok. Dan akhirnya tak banyak yang tahu, nama beliau pun diabadikan juga menjadi nama salah satu jalan di wilayah kampung Genteng, dengan nama Genteng Durasim.
Berikutnya, kita akan menjumpai perupa Krishna Mustajab. Lahir di Mojokerto,pada tanggal 4 Desember 1931. Menjelang akhir tahun 1950-an, ia dan seniman lainnya mendirikan kelompok seni “Sanggar Angin”. Dia juga adalah salah satu pendiri dari Akademi Seni Rupa Surabaya (Aksera) di Jawa Timur pada tahun 1967. Selama 1980-an ia menjabat sebagai pengawas budaya untuk Lembaga Indonesia Amerika (LIA) dan mendirikan suatu platform yang bernama “Lingkaran Lukisan” untuk mempromosikan pengembangan seniman muda berbakat. Krishna mulai berpartisipasi dalam pameran bersama pada tahun 1959. Dia pun memulai pameran tunggal di tahun 1969 di Surabaya, Jakarta, dan Medan di Sumatera Utara, dan pada tahun 1983 di Amerika Serikat. Pada tahun 1979 ia mengambil bagian dalam pameran ASEAN yang melakukan tur Jakarta, Bali, Singapura, Kuala Lumpur, Bangkok, dan Manila. Dia meninggal di Surabaya pada tanggal 3 Mei 1987 dan dimakamkan di TPU Tembok, Surabaya. Selain mendalami dunia seni lukis, seniman yang selalu menggunakan topi pet hitam ini  memiliki kesibukan lain seperti di dunia fotografi, menulis sejumlah puisi, dan organisatoris kegiatan-kegiatan seni lain di Surabaya. Perkembangan terakhirnya, ia bereksperimen dengan berbagai jenis media sebagai ‘kanvas’nya. Krisna Mustajab adalah salah satu sahabat dari perupa Tedja Suminar (untuk lebih mengenal Tedja Suminar dapat baca di sini).
Selanjutnya, kita akan menjumpai seniman ludruk Markuat dan Basman (mertua Cak Kartolo). Keduanya adalah seniman ludruk RRI Surabaya. Bersama Munali Fatah, berjuang bersama-sama mengangkat seni ludruk menjadi seni yang menjanjikan dan lebih modern. Seni ludruk pun mulai menjamah ke era digital (pada masa itu Ludruk pun mulai masuk ke dapur rekaman dengan memproduksi kaset). Dari ludruk RRI ini lahir pula bakat-bakat baru dunia hiburan Surabaya yang cukup melegenda.Ciri khas ludrukan ala Basman pun selalu tak luput dalam ingatan, yakni sesekali dia bersuara genit "ahahahaiiyyy"
Lanjut lagi yuk, tak berbeda dengan Markuat dan Basman, seniman yang kita kunjungi berikutnya adalah Paimo. Paimo adalah salah satu legenda Srimulat Surabaya.  Srimulat Surabaya ini selain manggung di THR, juga sering tampil di Kamis malam Jum’at, tapi waktunya nggak tetap. Kadang-kadang selama beberapa minggu tidak nongol sama sekali. Cuman satu hal yang selalu diingat soal grup lawak Srimulat ini di TVRI Surabaya, Srimulat punya tradisi menayangkan tayangan humor horor drakula. Jadi kalau pas tayang Kamis malam Jum’at pas rasanya gimana gitu? Yang kebagian peran abadi sebagai tukang hisap darah siapa lagi kalau bukan Paimo yang mukanya bikin pingsan soalnya serem abis kalo didandani kostum putih-putih dan rambut palsu terurai dan sambil dengan suara serak, dia selalu bilang “saya drakula”. Paimo juga pernah ikut andil dalam film Inem Pelayan Sexy 2 dan 3 sebagai tukang roti, dengan teriakannya yang khas..Bot..bot..botiii dan juga bermain dalam film lawas Srimulat dengan judul Walang Kekek.


Langkah kita teruskan dengan berkunjung ke pusara K. H. Ridlwan Abdullah. Beliau adalah pencipta lambing organisasi NU (Nadhlatul Ulama). Anak sulung dari enam bersaudara dari pasangan Kiyai Abdullah dan Nyai Marfu’ah, lahir di kampung Carikan, kawasan Praban Surabaya pada tanggal 01 Januari 1885 dan wafat pada tahun 1962. Dimakamkan di Tembok, Surabaya. Secara kebetulan, sehari sebelum Mu’tamar pada tahun 1927 digelar, Kiyai Ridlwan Abdullah mendapatkan petunjuk lewat mimpi seusai melaksanakan sholat Istikhoroh. Dalam mimpi itu muncul gambar bola dunia yan dilingkupi tali dan sembilan bintang. Keesokan harinya petunjuk itupun di gambar oleh Kiyai Ridlwan di atas selembar kain dan ditambahi tulisan arab Nahdlotul Ulama sebagai hasil kreasinya. Setelah jadi, gambar tersebut disodorkan kepada para kiyai dan serentak mereka menyetujui. Maka jadilah lambang NU seperti yang kita kenal dan kita lihat sekarang ini. Semasa hidupnya Kiyai Ridlwan sempat menikah dua kali. Dari pernikahan pertama lahir KH. Mahfudz, KH. Dahlan (keduanya anggota TNI) dan Afifah. Setelah sang istri wafat, beliau menikah lagi hingga lahir juga tiga anak, yaitu KH. Mujib Ridlwan, KH. Abdullah Ridlwan dan Munib.
Terakhir, kita berkunjung ke pusara Cak Kadaruslan, budayawan dan penggagas Festival Seni Surabaya. Senin, 13 April 2010, budayawan yang juga merupakan Ketua Umum Pusura Surabaya itu berpulang ke Rahmatullah dalam usia 79 tahun. Tak saja kehilangan besar untuk denyut kehidupan berkesenian di kota Surabaya, melainkan pula seorang tokoh yang amat peduli terhadap kotanya. Pasalnya, bapak tujuh anak dan empat belas cucu ini adalah sosok yang telah memberikan motivasi sekaligus inspirasi untuk kalangan muda untuk kritis dan cerdas menyikapi proses pembangunan kota yang kerapkali menghancurkan jejak-jejak peninggalan masa lampau , selain mendorong kalangan seniman-seniman muda untuk terus menggeliat dalam perkembangan sekaligus pertumbuhan seni budaya di pusat ibukota provinsi, Surabaya. Festival Seni Surabaya yang embrionya bermula dari Parade Seni WR. Soepratman, tahun 1995 , tak lepas dari sosok Cak Kadar yang sepanjang hidupnya, amat sangat mencintai kota kelahirannya, Surabaya. Kehadiran ajang seni budaya berskala nasional berlebel Festival Seni Surabaya tahun 1996 adalah karya besar almarhum yang sudah selayaknya oleh generasi muda seniman Surabaya terus digelorakan, sehingga kota ini tidak kehilangan identitas sebagai salah satu kota berbudaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar