Adakah di antara Anda yang pernah mendengar nama TPU Tembok? Tak banyak
mungkin, tapi tak sedikit pula yang mengenal makam Islam tertua di
Surabaya tersebut. Tapi sadarkah Anda apabila makam Tembok ini bisa
dikatakan sebagai makamnya para seniman Surabaya? Jika di Perancis kita
bisa berkunjung ke Pere Lachaise, tempat dimakamkannya para seniman,
tokoh2 budaya Perancis dan dunia, maka Makam Islam Tembok ini tak jauh
berbeda dengan kompleks pemakaman tersebut. Tak percaya?? Yuk kita
telusuri siapa saja yang merebah di kompleks makam yang telah ada sejak
1920an ini.
Yang pertama, kita akan berkunjung ke makam Gombloh. Siapa yang tak
mengenal sang trubadur yang terlahir dengan nama lengkap Sudjarwoto
Sumarsono ini? Lahir di Jombang, 14 Juli 1948–meninggal di Surabaya, 9
Januari 1988 pada umur 39 tahun) adalah seorang legenda musik pop
Indonesia. Dilahirkan sebagai anak ke-4 dari enam bersaudara dalam
keluarga Slamet dan Tatoekah. Slamet adalah seorang pedagang kecil yang
hidup dari menjual ayam potong di pasar tradisional di kota mereka.
Sebagai keluarga sederhana, Slamet sangat berharap agar anak-anaknya
dapat bersekolah setinggi mungkin hingga memiliki kehidupan yang lebih
baik. Gombloh menyelesaikan pendidikan sekolah di SMA Negeri 5 Surabaya
dan sempat berkuliah di Arsitektur ITS, namun tidak diselesaikannya dan
memilih menuruti nalurinya untuk bermusik. Penampilan yang nyeleneh dan
lirik-lirik lagu yang sederhana membuat dia terus dikenang dalam setiap
rekam jejaknya. Melalui lagu Kebyar-Kebyar dan Kugadaikan Cintaku,
Gombloh mendapatkan atensi yang tinggi hingga sekarang. Sepanjang
penciptaan lagu, Gombloh selalu bersikap apa adanya. Apa yang ia
rasakan, apa yang ia alami, apa yang ia lihat, itulah sumber
inspirasinya dalam berkarya. Pantaslah kiranya, ia dijuluki sebagai sang
trubadur. Lagu-lagu karya Gombloh sempat diangkat dalam penelitian
Martin Hatch seorang peneliti dari Cornell University dan ditulis
sebagai karya ilmiah yang berjudul "Social Criticsm in the Songs of
1980’s Indonesian Pop Country Singers", yang dibawakan dalam seminar
musik The Society of Ethnomusicology di Toronto, Kanada pada 2000.
Mengenang Gombloh, tak lengkap rasanya bila tak menyebut Vicky Vendy.
Dua nama ini nyaris tak terpisah, hampir di semua album Vicky Vendy
pasti ada lagu Gombloh (dan menjadi sahabat setia sampai akhir hayat,
berpulang hampir bersamaan, hanya selang 2 bulanan) Bagi Vicky, Gombloh
adalah senior, guru, dan teman. Saking 'sayangnya' sama Vicky, tak
jarang dalam konser Vicky. Gombloh sampai rela menunggui di atas
panggung, jadi backing vocal, dan main gitar. Mereka dibesarkan oleh
label yang sama Nirwana Record, perusahaan rekaman terbesar di Jawa
Timur. Album pertama Vicky adalah Duka Seorang Gadis yang antara lain
ikut diarsiteki oleh Arthur Kaunang (ayahanda artis Tessa Kaunang), Toar
Tangkau, dan tentu saja Gombloh. Musisi yang terlibat sejak album
pertama sampai album terakhir Vicky di antaranya adalah Pardi Artin
(Gitaris The Gembells) tidak saja di album Vicky, hampir di semua album
Gombloh, Pardi terlibat memberi roh Rock atau Blues. Setelah sukses
album pertama tersebut, tahun 1982 Vicky merilis album kedua yang
bertitle Untukmu Kekasih masih ciptaan Gombloh juga sukses di pasaran.
Pada tahun 1984 ia merilis album Balada Tukang Boat, namun album ini
tidak sesukses dua album terdahulu. Pada jamannya dia termasuk idola
kaum muda (terutama cewek) dan sempat merilis album Life In Concert,
yang menampilkan lagu-lagu hits Vicky sampai saat itu seperti Duka
Seorang Gadis, Senyumlah Kekasih, Tangis Dalam Mimpi. Ada salah satu
hits penyanyi jebolan Bina Vokalia (juga ciptaan Gombloh) yang sempat
dijadikan jingle iklan Djarum Super, yang berjudul Gadis Baju Merah.
Sampai 1988 nama Vicky masih cukup berjaya, meski ada cerita ironi di
akhir karirnya. Saat Gombloh meninggal, Vicky membuat album bertajuk
Selamat Jalan Gombloh, entah karena shock atau karena sebab lain, tak
lama kemudian Vicky menyusul Gombloh pergi untuk selama-lamanya.
Pergaulan musik Vicky cukup luas bahkan sempat membentuk band di
Jakarta, namanya Jakarta Power Band. Konon Vicky sudah diskenario untuk
dilibatkan dalam proyek album karya terbaik Chandra Darusman, yang
memuculkan hits Kekagumanku. Oya, bagi anda yang sempat mengikuti acara
Ceriwis-Trans TV di edisi yang lama, Anda tentu masih ingat dengan band
pengiring yang bernama Fresh Band. Nah tiga personel di antaranya
merupakan putra-putra dari mendiang.
Setelah “bertemu” dengan Vicky Vendy, langkah kaki pun kita teruskan
menemui Cak Durasim. Yaa, siapa yang tak pernah mendengar nama satu ini.
Apalagi kalau kita mampir ke daerah Gentengkali Surabaya, terdapat nama
gedung kesenian Cak Durasim. Cak Durasim adalah seniman Ludruk
kelahiran Jombang, dia adalah seniman ludruk sejati di jaman Soerabaja
Tempo Doeloe. Dia yang memprakasai perkumpulan ludruk di Surabaya. Pada
tahun 1937, mempopulerkan cerita-cerita legenda Soerabaja dalam bentuk
drama. Cak Durasim adalah seniman ludruk sekaligus adalah pejuang, Pada
tahun 1942 ketika tentara Jepang menguasai negeri ini melalui Ludruk
sebagai media siar. Dia membangkitkan semangat juang arek-arek Suroboyo
dan mengkritik pemerintah penjajah, di dalam pementasan drama
ludruknya. Selain menceritakan legenda Surabaya Cak Durasim juga
mementaskan cerita perjuangan-perjuangan lokal masyarakat Jawa Timur.
Selain itu gendhing Jula-Juli Surabaya isinya mengkritik pemerintah
penjajah. Pada puncaknya waktu pentas di Keputran Kejambon Surabaya Cak
Durasim melantunkan Kidungan yang sangat populer yang berbunyi :“Bekupon
omahe doro, melok Nippon tambah soro” - Bekupon Sangkar burung dara,
ikut Nippon (Jepang) bertambah sengsara”. Kidungan ini yang menyebabkan
Cak Durasim dipenjarakan dan disiksa oleh tentara Jepang. Pada tahun
1944 Cak Durasim menghembuskan nafas terakhir di dalam penjara dan
dimakamkan di Makam Islam Tembok. Dan akhirnya tak banyak yang tahu,
nama beliau pun diabadikan juga menjadi nama salah satu jalan di wilayah
kampung Genteng, dengan nama Genteng Durasim.
Berikutnya, kita akan menjumpai perupa Krishna Mustajab. Lahir di
Mojokerto,pada tanggal 4 Desember 1931. Menjelang akhir tahun 1950-an,
ia dan seniman lainnya mendirikan kelompok seni “Sanggar Angin”. Dia
juga adalah salah satu pendiri dari Akademi Seni Rupa Surabaya (Aksera)
di Jawa Timur pada tahun 1967. Selama 1980-an ia menjabat sebagai
pengawas budaya untuk Lembaga Indonesia Amerika (LIA) dan mendirikan
suatu platform yang bernama “Lingkaran Lukisan” untuk mempromosikan
pengembangan seniman muda berbakat. Krishna mulai berpartisipasi dalam
pameran bersama pada tahun 1959. Dia pun memulai pameran tunggal di
tahun 1969 di Surabaya, Jakarta, dan Medan di Sumatera Utara, dan pada
tahun 1983 di Amerika Serikat. Pada tahun 1979 ia mengambil bagian dalam
pameran ASEAN yang melakukan tur Jakarta, Bali, Singapura, Kuala
Lumpur, Bangkok, dan Manila. Dia meninggal di Surabaya pada tanggal 3
Mei 1987 dan dimakamkan di TPU Tembok, Surabaya. Selain mendalami dunia
seni lukis, seniman yang selalu menggunakan topi pet hitam ini memiliki
kesibukan lain seperti di dunia fotografi, menulis sejumlah puisi, dan
organisatoris kegiatan-kegiatan seni lain di Surabaya. Perkembangan
terakhirnya, ia bereksperimen dengan berbagai jenis media sebagai
‘kanvas’nya. Krisna Mustajab adalah salah satu sahabat dari perupa Tedja
Suminar (untuk lebih mengenal Tedja Suminar dapat baca
di sini).
Selanjutnya, kita akan menjumpai seniman ludruk Markuat dan Basman
(mertua Cak Kartolo). Keduanya adalah seniman ludruk RRI Surabaya.
Bersama Munali Fatah, berjuang bersama-sama mengangkat seni ludruk
menjadi seni yang menjanjikan dan lebih modern. Seni ludruk pun mulai
menjamah ke era digital (pada masa itu Ludruk pun mulai masuk ke dapur
rekaman dengan memproduksi kaset). Dari ludruk RRI ini lahir pula
bakat-bakat baru dunia hiburan Surabaya yang cukup melegenda.Ciri khas
ludrukan ala Basman pun selalu tak luput dalam ingatan, yakni sesekali
dia bersuara genit "ahahahaiiyyy"
Lanjut lagi yuk, tak berbeda dengan
Markuat dan Basman, seniman yang kita kunjungi berikutnya adalah Paimo.
Paimo adalah salah satu legenda Srimulat Surabaya. Srimulat Surabaya
ini selain manggung di THR, juga sering tampil di Kamis malam Jum’at,
tapi waktunya nggak tetap. Kadang-kadang selama beberapa minggu tidak
nongol sama sekali. Cuman satu hal yang selalu diingat soal grup lawak
Srimulat ini di TVRI Surabaya, Srimulat punya tradisi menayangkan
tayangan humor horor drakula. Jadi kalau pas tayang Kamis malam Jum’at
pas rasanya gimana gitu? Yang kebagian peran abadi sebagai tukang hisap
darah siapa lagi kalau bukan Paimo yang mukanya bikin pingsan soalnya
serem abis kalo didandani kostum putih-putih dan rambut palsu terurai
dan sambil dengan suara serak, dia selalu bilang “saya drakula”. Paimo
juga pernah ikut andil dalam film Inem Pelayan Sexy 2 dan 3 sebagai
tukang roti, dengan teriakannya yang khas..Bot..bot..botiii dan juga
bermain dalam film lawas Srimulat dengan judul Walang Kekek.
Langkah kita teruskan dengan berkunjung ke pusara K. H. Ridlwan
Abdullah. Beliau adalah pencipta lambing organisasi NU (Nadhlatul
Ulama). Anak sulung dari enam bersaudara dari pasangan Kiyai Abdullah
dan Nyai Marfu’ah, lahir di kampung Carikan, kawasan Praban Surabaya
pada tanggal 01 Januari 1885 dan wafat pada tahun 1962. Dimakamkan di
Tembok, Surabaya. Secara kebetulan, sehari sebelum Mu’tamar pada tahun
1927 digelar, Kiyai Ridlwan Abdullah mendapatkan petunjuk lewat mimpi
seusai melaksanakan sholat Istikhoroh. Dalam mimpi itu muncul gambar
bola dunia yan dilingkupi tali dan sembilan bintang. Keesokan harinya
petunjuk itupun di gambar oleh Kiyai Ridlwan di atas selembar kain dan
ditambahi tulisan arab Nahdlotul Ulama sebagai hasil kreasinya. Setelah
jadi, gambar tersebut disodorkan kepada para kiyai dan serentak mereka
menyetujui. Maka jadilah lambang NU seperti yang kita kenal dan kita
lihat sekarang ini. Semasa hidupnya Kiyai Ridlwan sempat menikah dua
kali. Dari pernikahan pertama lahir KH. Mahfudz, KH. Dahlan (keduanya
anggota TNI) dan Afifah. Setelah sang istri wafat, beliau menikah lagi
hingga lahir juga tiga anak, yaitu KH. Mujib Ridlwan, KH. Abdullah
Ridlwan dan Munib.
Terakhir, kita berkunjung ke pusara Cak Kadaruslan, budayawan dan
penggagas Festival Seni Surabaya. Senin, 13 April 2010, budayawan yang
juga merupakan Ketua Umum Pusura Surabaya itu berpulang ke Rahmatullah
dalam usia 79 tahun. Tak saja kehilangan besar untuk denyut kehidupan
berkesenian di kota Surabaya, melainkan pula seorang tokoh yang amat
peduli terhadap kotanya. Pasalnya, bapak tujuh anak dan empat belas cucu
ini adalah sosok yang telah memberikan motivasi sekaligus inspirasi
untuk kalangan muda untuk kritis dan cerdas menyikapi proses pembangunan
kota yang kerapkali menghancurkan jejak-jejak peninggalan masa lampau ,
selain mendorong kalangan seniman-seniman muda untuk terus menggeliat
dalam perkembangan sekaligus pertumbuhan seni budaya di pusat ibukota
provinsi, Surabaya. Festival Seni Surabaya yang embrionya bermula dari
Parade Seni WR. Soepratman, tahun 1995 , tak lepas dari sosok Cak Kadar
yang sepanjang hidupnya, amat sangat mencintai kota kelahirannya,
Surabaya. Kehadiran ajang seni budaya berskala nasional berlebel
Festival Seni Surabaya tahun 1996 adalah karya besar almarhum yang sudah
selayaknya oleh generasi muda seniman Surabaya terus digelorakan,
sehingga kota ini tidak kehilangan identitas sebagai salah satu kota
berbudaya.